Di suatu sore yang damai, selepas pengkajian qur’an di pondok pesantren Abu Hurairoh, beberapa pengajar pesantren terlihat sedang bercakap-cakap dengan serius.
Ustadz Iman memulai pertemuan tersebut “bismillah. Assalamu’alaikum. Mohon maaf mengganggu waktu rekan-rekan semua. Kali ini kita punya info yang cukup penting untuk dibagi. Ini mengenai salah satu santri mingguan kita. Selanjutnya silahkan kepada Ustadzah Nur untuk menyampaikan. Karena Ustadzah Nur yang mendengar langsung dari santri tersebut.”
Ustadz Putra mengerutkan keningnya. Ia berkata dalam hati “santri mingguan? Mereka rata-rata mahasiswa atau karyawan yang masih mau belajar agama. Tentunya mereka bukan anak-anak sekolah menengah yang masih suka berulah. Masalah apa yang sampai harus mempertemukan semua pengajar di sini?”. Ustadz Syaiful pun terdiam memikirkan hal yang sama sementara Ustadzah Lin Mei dan Ustadzah Cut Ima masih mendengarkan dengan pikiran jauh dari prasangka.
Ustadzah Nur memulai pembicaraan “jadi begini, saudara-saudari seimanku. Ada yang melamar salah satu santri kita, Anya Diani Anas, melalui Ustadz Iman selaku pimpinan di sini.”
Ustadz Syaiful dan Ustadz Latif mengucap hamdalah bersamaan ketika mendengar berita tersebut. Ustadzah Nur menyela “eh sebentar.. saya belum selesai. Nama pria itu Amir Setiawan atau biasa disapa Awan. Ini adalah Pak Awan yang biasa kita dengar namanya di koran itu. Dia memang memiliki pengaruh besar di departemen dalam negeri, tapi saya pikir, santri seperti Anya harusnya bisa berjodoh dengan seseorang yang agamanya lebih baik. mereka sudah dekat sejak masih kuliah, tapi Anya memang terus menjaga jarak walaupun mungkin sebenarnya ada rasa. Penyebabnya ya itu tadi, Pak Awan bukan seorang muslim yang utuh walaupun beliau terlihat begitu alim dan taat.”
Ustadz Latif segera bertanya “memangnya Pak Awan itu kenapa dengan agamanya, Nur?”
Ustadzah Nur menjawab dengan singkat namun tajam “dia kafir, mas”
Ustadzah Lin Mei ikut bertanya “kafir bagaimana, Nur?”
Ustadzah Nur menjawab dengan kalem “dia memang islam, tapi ternyata gossip mengenai aliran sesat yang dia ikuti itu memang benar. Selama ini gossip itu bisa ditangkis karena pihak pemerintah masih sangat membutuhkan keahlian dan pengaruh beliau sehingga seluruh depdagri dan pihak internal lainnya di pemerintahan kompak menutup rapat semuanya”
Ustadz Syaiful sekarang bertanya “kamu sendiri tahu dari mana, Nur?”
“awalnya saya tahu dari Anya, dan setelah Awan mengajukan lamarannya ke Ustadz Iman, saya ajak berbincang sedikit tentang agama. Saya tahu ciri-ciri dia ada di aliran itu dari ibadah hariannya yang memang agak melenceng”
Kini Ustadz Putra pun tidak lagi menahan diri untuk bertanya “Nur, sekarang kamu mau apakan lamarannya ini? Awan memang masih kafir, tapi itu kan sekarang… kalau lamarannya diterima Anya mungkin dia akan mau mengikuti kepada islam yang akmal dan kaffah seperti kita. Menurut saya, ini sebuah kesempatan yang sangat bagus untuk berdakwah. Dengan popularitas, kecerdasan, kekuasaan, dan harta yang beliau punya, dakwah kita akan semakin luas”
Ustadz Latif kaget mendengar pernyataan Ustadz Putra yang begitu berani. Ustadz Latif pun akhirnya berbicara “Anya itu perempuan, Put. Jangan sampe salah langkah dan kita malah menyerahkan mutiara seperti Anya ke tangan orang kafir. Anya juga perempuan yang cerdas dan berkuasa. Anya memang tidak menjabat apapun di pemerintahan, tapi dia cukup disegani di DPR atas peran-perannya di banyak lembaga social masyarakat. Terlebih lagi, Anya itu insinyur sistem informasi dan hasil karya ilmiahnya mengenai system keamanan data sudah mulai dipakai di Kesekretariatan Jenderal DPR RI. Ada berapa banyak perempuan seperti dia yang taat beragama islam di Indonesia?”
Ustadz Iman menengahi “Putra, Latif, dan semua yang ada di sini, hanya Alloh yang berhak menentukan siapa itu baik dan siapa itu buruk. Hanya Alloh juga yang berhak menentukan siapa jodoh siapa. Sekarang, lebih baik kita berdiskusi saja dulu mengenai apa hal terbaik yang bisa kita sarankan pada Anya maupun yang akan kita jawabkan pada Awan. Karena Anya bilang, petunjuk dari istikhorohnya hanya menunjukkan bahwa saran terbaik kita akan menjadi jalan yang harus dipilihnya”
Selang beberapa jam kemudian, terdengar adzan dhuhur yang sekaligus menutup diskusi para pengajar utama pesantren tersebut. Segera semuanya mendirikan sholat di masjid pesantren beserta seluruh santri yang ada di sana, termasuk Anya. Setelah selesai sholat, Ustadzah Cut Ima memanggil Anya untuk bergabung dengan forum diskusi para pengajar tersebut.
“bagaimana jawabannya, ustadzah?” Tanya Anya setengah takut. Takut Anya mendapatkan jawaban yang tak bisa ia hadapi nanti.
“insya Alloh ini yang terbaik buat kamu. Kamu harus yakin, Anya”
“iya, mbak. Insya Alloh..”
Sesampainya di hadapan para pengajar yang usianya hanya berbeda beberapa tahun darinya, Anya segera duduk dan bersikap penuh hormat.
“Anya, kita sudah bicarakan masalah kamu. Mungkin selanjutnya biar Putra yang menjelaskan, karena dia kepala bagian kesantrian” kata Ustadz Iman
Anya diam dan mendengarkan… Anya takut mendengar jawabannya. Anya juga tidak sanggup menatap Ustadz Putra yang pernah diharapkannya menjadi pasangannya di masa depan nanti. Segala perasaan dan kenangan beradu dalam pikirannya. Anya menyayangi Awan, namun semua terhalang benteng yang begitu tinggi mengenai agama. Apalagi mengingat Awan bisa sampai menjadi seseorang seperti sekarang pun bukan hanya atas dukungan rekanan politiknya melainkan atas dukungan agama islam jenis baru yang dia peluk sejak SMP itu. Di sisi lain, Anya pun selalu mengharapkan kehadiran seseorang seperti Putra yang taat beragama dan bisa menajdi imam yang baik bagi keluarga. Harapan itu masih ada sampai sekarang. Anya bahkan sampai sempat berharap Ustadz Iman akan menjodohkannya dengan Putra yang sudah menjadi akuntan suatu perusahaan swasta di Jakarta selatan itu. Begitu tinggi impian Anya untuk memiliki keluarga yang lurus dalam dien-Nya hingga Anya berkali-kali menangisi hatinya sendiri yang begitu menyayangi Awan. Bagi Anya, kedekatan mereka bukan lagi seperti dua orang yang saling tertarik saja namun sudah seperti Anya menemukan minat terbesarnya di dunia ini. Anya menyayangi Awan setulus hati dan tidak berkeberatan mengajak Awan mempelajari islam dari nol hingga habis. Tapi dengan durasi waktu selama itu di mana Awan berada di kalangan sesat itu, apakah bisa Anya memulai sebuah keluarga yang lurus dalam dien-Nya? Sementara itu, sosok Putra selalu terbayang sebagai seseorang yang ideal sebagai pasangan hidup Anya. Tak jarang Anya memantau siapa saja wanita yang dekat dengan Putra. Tapi ketika Anya sedang bersama Putra pun, bayangan Awan masih beberapa kali terbersit di benaknya. Jika saja Anya bukan seorang muslimah taat, mungkin Anya akan lebih memilih untuk tidak menikah samasekali. Namun ustadzah Nur seringkali menegur Anya jika ia sudah berpikir demikian. “kamu mau dianggap bukan umat Muhammad, Anya?” begitu teguran khas Ustadzah Nur setiap Anya mempertanyakan sunah-sunah rasul yang menurutnya sulit dilaksanakan atau sudah tidak kompeten dengan perkembangan teknologi maupun jaman. Dan Anya pun hanya bisa berkata “nggak, mbak” kemudian menurut apapun isi hadits yang diajarkan. Karena Anya sendiri sadar, logika manusia takkan pernah bisa menandingi logika Alloh yang diwahyukan pada rasul-Nya.
“Anya.. menurut kami, sebaiknya kamu menikah saja dengan Awan” begitu tutur Ustadz Putra dengan tegas.
“maaf mas, bisa diulangi?” Anya tidak percaya apa yang didengarnya
“kamu sebaiknya nikah sama Awan aja, Nya..” kata ustadz Putra mengulangi
Anya tidak merasakan apa-apa saat ustadz Putra mengatakan hal tersebut. Ya, Anya memang mencintai Awan setulus hatinya, namun Anya lebih mencintai kehidupan keluarga yang lurus dalam islam.
Anya bertanya “tapi dia kafir, mas.. mas Putra mau ngasih saya ke orang kafir?” entah kenapa suara Anya tertekan begitu kuat saat mengatakan ini sehingga nada bicaranya agak sedikit tinggi
“saya nggak ngasih kamu ke orang kafir, Anya. Saya ngasih orang berpengaruh ke wanita beriman”
“maksudnya, mas?” Anya tidak mengerti karena emosinya yang membuncah. Anya ingin menangis tapi semaunya tercekat di dalam.
“kami sudah pertimbangkan baik-bail. Kami percaya kamu bisa ajak Awan kembali pada islam”
“tapi, mas..”
“kalau hasil istikhoroh kamu adalah keputusan ini, maka kamu harus yakin ini yang terbaik dari Alloh”
“aku nggak percaya, mas..”
“kamu harus yakin, Anya. Jangan sampai Alloh murka karena kamu mengingkari keputusan terbaikNya. Kalau kamu mengingkari Alloh, apa bedanya kamu dengan dia? Kita semua sudah paham juga mengenai kekufuran dalam islam, kan? Satu hal lagi, kita nggak pernah tahu sebaik dan seburuk apa seseorang di mataNya. Yang terlihat baik di mata kita belum tentu baik di mata Alloh dan yang buruk di mata kita mungkin nilainya lebih tinggi dari nilai kita di mata Alloh”
Anya menunduk, dia mendengarkan ustadz Putra dengan seksama. Dia masih tidak mengerti, apa lebihnya Awan dari Putra? Atau seburuk apa Anya di mata Alloh sampai harus dijodohkan dengan Awan? Anya ingin sekali menangisi nasibnya itu. Namun di sisi lain, Anya tenang karena ternyata hatinya tidak salah pilih. Ternyata perasaannya pada Awan memang suatu ilham dari Al-Wadduud. Di satu sisi, Anya bisa merasakan hatinya terbang dengan sangat ringan karena mengetahui ternyata Awan memang yang terbaik baginya. Ia merasakan damai di hatinya karena ia tak perlu mengalami konflik batin dengan hatinya lagi. Di sisi lain, ia masih meragukan dirinya sendiri untuk bisa menghadapi kehidupan dengan perbedaan begitu besar bersama Awan. Akhirnya Anya mengangkat kepalanya dan menatap ustadz Putra, orang yang pernah menjadi harapan masa depannya itu, kemudian berkata “iya, mas. saya jalani, insya Alloh..”
Karena begitu bingungnya, Anya tidak bisa merasakan airmata yang mengalir di kedua sudut matanya saat ia menatap ustadz Putra. Ia baru menyadarinya saat ustadzah Lin Mei menyodorkan sekotak tisu padanya. “kamu pasti kuat. banyak-banyak menyebut nama Al Qowiyyu ya, Anya. Ada saudara-saudara seiman di sini kalau kamu butuh seseorang untuk membantu”
“iya, mbak” Anya hanya bisa menurut dan pulang ke rumahnya setelah berpamitan dan mengucap salam pada para pengajarnya. Ia tahu hari-hari esoknya akan berbeda karena ia tak lagi bisa dengan mudah menggapai impian memiliki keluarga islami dengan mudah. Ia kini harus memenuhi satu syarat besar menuju impiannya itu : membawa Awan kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunah.